Apa itu tunarungu?
Tunarungu adalah seseorang yang mengalami hambatan pendengaran karena sebagai akibar rusaknya indera pendengaran sehingga membutuhkan pendidikan dan layanan khusus untuk mengembangkan potensinya.
Banyak ahli mengemukakan pengertian mengenai tunarungu antara lain sebagai berikut:
1. Murni Winarsih (2007: 23), menyatakan tunarungu merupakan orang yang mengalami kehilangan atau kekurangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga anak tersebut tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut berdampak pada kehidupannya secara kompleks utamanya kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi yang sangat penting.
2. Mohammad Efendi (2006: 57), anak berkelainan pendengaran atau tunarungu merupakan anak yang mengalami kerusakan atau gangguan pada satu atau lebih organ telinga bagian luar, organ telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam yang disebabkan kecelakaan, penyakit, atau sebab lainnya yang tidak diketahui sehingga organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.
3. Andreas Dwidjosumarto (dalam Sutjihati Somantri, 1996: 74) berpendapat seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, antara lain tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing)
Klasifikasi Anak Tunarungu
Pengklasifikasian anak tunarungu dikemukakan oleh banyak ahli.
Secara rinci klasifikasi anak tunarungu oleh Samuel A. Kirk dalam Somad dan Hernawati dikutip oleh Haenudin (2013:57) mengemukakan sebagai berikut :
1) 0 dB : pendengaran optimal
2) 6-28 dB : pendengarannya masih normal
3) 27- 40 dB : kesulitan mendengar bunyi- bunyi yang jauh, memerlukan terapi bicara (tunarungu ringan)
4) 41- 45 dB : mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi wicara (tunarungu sedang)
5) 56- 70 dB : hanya bisa mendengar suara dari jarak dekat,masih ada sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan cara khusus dan butuh alat bantu dengar (tunarungu agak berat)
6) 71- 90 dB : hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat,membutuhkan alat bantu dengar, latihan bicara secara khusus dan pendidikan khusus yang intensif (tunarungu berat)
7) 91 dB ke atas : mungkin akan sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung pada penglihatan untuk proses menerima informasi (tunarungu sangat berat)
Sementara itu, klasifikasi anak Tunarungu dilihat dari derajat kecacatan menurut Dariyanto dikutip oleh Sadja’ah (2013:46) sebagai berikut :
1) Cacat dengar ringan (Mild hearing loss), yaitu derajat cacat dengar
antara 26- 40 dB.
2) Cacat dengar sedang (Moderate hearing loss), yaitu cacat dengar antara
41-55 dB.
3) Cacat dengar sedang berat (Moderate severe hearing loss), yaitu cacat
dengar antara 56-70 dB.
4) Cacat dengar berat (Severe hearing loss) yaitu cacat dengar antara 71-90dB.
5) Cacat dengar terberat (profound hearing loss) cacat dengar diatas 91 dB.
Lain halnya dengan Van Uden (1977) dikutip oleh Winarsih (2007:26)
membagi klasifikasi ketunarunguan menjadi tiga sebagai berikut :
1) Berdasarkan saat terjadinya
a) Ketunarunguan bawaan adalah saat lahir anak sudah mengalami
tunarungu
b) Ketunarunguan setelah lahir adalah terjadinya ketunarunguan
karena kecelakaan atau penyakit
2) Berdasarkan tempat kerusakan
a) Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah (tuli konduktif)
b) Kerusakan pada telinga bagian dalam (tuli sensoris)
3) Berdasarkan taraf penguasaan bahasa
a) Tuli Pra Bahasa (prelingually Deaf) adalah mereka yang menjadi
tuli sebelum menguasai bahasa( usia 1,6tahun)
b) Tuli Purna Bahasa (Post Lingually Deaf) adalah mereka yang
menjadi tuli setelah menguasai bahasa
Pendapat lain diberikan oleh Somantri (2006:94) yang
mengklasifikasikan tunarungu menjadi 2 klasifikasi yaitu secara etiologis
dan menurut tarafnya. Berikut penjelasannya :
1) Klasifikasi secara etiologis
a) Pada saat sebelum lahir
b) Pada saat kelahiran
c) Pada saat setelah kelahiran
2) Klasifikasi menurut tarafnya
a) Tingkat I : kehilangan kemampuan mendengar antara 35- 54 dB
b) Tingkat II : kehilangan kemampuan mendengar antara 55-69 dB
c) Tingkat III : kehilangan kemampuan mendengar antara70-89 dB
d) Tingkat IV : kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas
Menurut Somad dan Hernawati (1996: 32), tunarungu didasarkan
pada anatomi fisiologisnya yang kemudian dibedakan menjadi tiga yaitu:
1) Tunarungu Hantaran (Konduksi)
Tunarungu hantaran ialah ketunarunguan yang disebabkan kerusakan atau tidak berfungsinya alat- alat penghantar getaran suara pada telinga bagian tengah. Ketunarunguan konduksi terjadi karena pengurangan intensitas bunyi yang mencapai telinga bagian dalam, dimana syaraf pendengaran tidak berfungsi. Tunarungu konduksi dapat segera diatasi secara efektif melalui amplifikasi atau alat bantu dengar.
2) Tunarungu Syaraf (Sensorineural)
Tunarungu syaraf ialah tunarungu yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya alat- alat pendengaran bagian dalam syaraf pendengaran yang menyalurkan getaran ke pusat pendengaran bagian lobus temporalis.
3) Tunarungu Campuran
Tunarungu campuran ialah kelainan pendengaran yang disebabkan karena ada kerusakan pada penghantar suara dan kerusakan pada syaraf pendengaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar