Senin, 28 Maret 2022

Klasifikasi Tunarungu

 


Apa itu tunarungu?

Tunarungu adalah seseorang yang mengalami hambatan pendengaran karena sebagai akibar rusaknya indera pendengaran sehingga membutuhkan pendidikan dan layanan khusus untuk mengembangkan potensinya.

Banyak ahli mengemukakan pengertian mengenai tunarungu antara lain sebagai berikut:

1. Murni Winarsih (2007: 23), menyatakan tunarungu merupakan orang yang mengalami kehilangan atau kekurangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga anak tersebut tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut berdampak pada kehidupannya secara kompleks utamanya kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi yang sangat penting.

2. Mohammad Efendi (2006: 57), anak berkelainan pendengaran atau tunarungu merupakan anak yang mengalami kerusakan atau gangguan pada satu atau lebih organ telinga bagian luar, organ telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam yang disebabkan kecelakaan, penyakit, atau sebab lainnya yang tidak diketahui sehingga organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya.

3. Andreas Dwidjosumarto (dalam Sutjihati Somantri, 1996: 74) berpendapat seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, antara lain tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing) 



Klasifikasi Anak Tunarungu

Pengklasifikasian anak tunarungu dikemukakan oleh banyak ahli.

Secara rinci klasifikasi anak tunarungu oleh Samuel A. Kirk dalam Somad dan Hernawati dikutip oleh Haenudin (2013:57) mengemukakan sebagai berikut :

1) 0 dB : pendengaran optimal

2) 6-28 dB : pendengarannya masih normal

3) 27- 40 dB : kesulitan mendengar bunyi- bunyi yang jauh, memerlukan terapi bicara (tunarungu ringan)

4) 41- 45 dB : mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi wicara (tunarungu sedang)

5) 56- 70 dB : hanya bisa mendengar suara dari jarak dekat,masih ada sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan cara khusus dan butuh alat bantu dengar (tunarungu agak berat)

6) 71- 90 dB : hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat,membutuhkan alat bantu dengar, latihan bicara secara khusus dan pendidikan khusus yang intensif (tunarungu berat)

7) 91 dB ke atas : mungkin akan sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung pada penglihatan untuk proses menerima informasi (tunarungu sangat berat)

Sementara itu, klasifikasi anak Tunarungu dilihat dari derajat kecacatan menurut Dariyanto dikutip oleh Sadja’ah (2013:46) sebagai berikut :

1) Cacat dengar ringan (Mild hearing loss), yaitu derajat cacat dengar

antara 26- 40 dB.

2) Cacat dengar sedang (Moderate hearing loss), yaitu cacat dengar antara

41-55 dB.

3) Cacat dengar sedang berat (Moderate severe hearing loss), yaitu cacat

dengar antara 56-70 dB.

4) Cacat dengar berat (Severe hearing loss) yaitu cacat dengar antara 71-90dB.

5) Cacat dengar terberat (profound hearing loss) cacat dengar diatas 91 dB.

Lain halnya dengan Van Uden (1977) dikutip oleh Winarsih (2007:26) 

membagi klasifikasi ketunarunguan menjadi tiga sebagai berikut :

1) Berdasarkan saat terjadinya 

a) Ketunarunguan bawaan adalah saat lahir anak sudah mengalami 

tunarungu 

b) Ketunarunguan setelah lahir adalah terjadinya ketunarunguan 

karena kecelakaan atau penyakit 

2) Berdasarkan tempat kerusakan 

a) Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah (tuli konduktif) 

b) Kerusakan pada telinga bagian dalam (tuli sensoris) 

3) Berdasarkan taraf penguasaan bahasa 

a) Tuli Pra Bahasa (prelingually Deaf) adalah mereka yang menjadi 

tuli sebelum menguasai bahasa( usia 1,6tahun) 

b) Tuli Purna Bahasa (Post Lingually Deaf) adalah mereka yang 

menjadi tuli setelah menguasai bahasa 

Pendapat lain diberikan oleh Somantri (2006:94) yang 

mengklasifikasikan tunarungu menjadi 2 klasifikasi yaitu secara etiologis 

dan menurut tarafnya. Berikut penjelasannya :

1) Klasifikasi secara etiologis

a) Pada saat sebelum lahir 

b) Pada saat kelahiran 

c) Pada saat setelah kelahiran 

2) Klasifikasi menurut tarafnya

a) Tingkat I : kehilangan kemampuan mendengar antara 35- 54 dB 

b) Tingkat II : kehilangan kemampuan mendengar antara 55-69 dB 

c) Tingkat III : kehilangan kemampuan mendengar antara70-89 dB 

d) Tingkat IV : kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas 

Menurut Somad dan Hernawati (1996: 32), tunarungu didasarkan 

pada anatomi fisiologisnya yang kemudian dibedakan menjadi tiga yaitu: 

1) Tunarungu Hantaran (Konduksi) 

 Tunarungu hantaran ialah ketunarunguan yang disebabkan kerusakan atau tidak berfungsinya alat- alat penghantar getaran suara pada telinga bagian tengah. Ketunarunguan konduksi terjadi karena pengurangan intensitas bunyi yang mencapai telinga bagian dalam, dimana syaraf pendengaran tidak berfungsi. Tunarungu konduksi dapat segera diatasi secara efektif melalui amplifikasi atau alat bantu dengar.

2) Tunarungu Syaraf (Sensorineural)

Tunarungu syaraf ialah tunarungu yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya alat- alat pendengaran bagian dalam syaraf pendengaran yang menyalurkan getaran ke pusat pendengaran bagian lobus temporalis.

3) Tunarungu Campuran

Tunarungu campuran ialah kelainan pendengaran yang disebabkan karena ada kerusakan pada penghantar suara dan kerusakan pada syaraf pendengaran.

Senin, 21 Maret 2022

Sejarah Tunarungu dan Pendidikannya

 

 Sejarah Tunarungu

Pada jaman dahulu anak tunarungu dan anak terbelakang mental (tunamental) sukar di bedakan, karena kedua –duanya sukar di ajak bicara. Orang yang mengajar murid tuli (tunarungu berat) yang pertama adalah PEDRO PONCE DELEON. Dia seorang biarawan di ST BENDEDICT (SPANYOL 1520 – 1584 Masehi).

Dialah yang melopori pendidikan anak tunarungu dengan mendidik anak tunarungu keturunan bangsawan pada abad XVI (16), ia membuktikan bahwa anak tuna rungu dapat diajari bicara dan menulis. Alphabet pertama lahir pada tahun 1620 atas usaha PLABLO BONET. Oleh BONET dijelaskan behwa dalam pengajarannya juga terdapat pelajaran ARTIKULASI seperti apa yang diberikan di Indonesia sekarang ini. Selajutnya Alphabet dari PLABLO BONET tersebut berupa abjad yang terdiri isyarat tangan. Kemudian dilanjutkan oleh JACOB RODRIGUES PEREIRE denan mengembangkan bahasa isyarat dengan mempergunakan tangan. Selain itu juga dikembangkan metode lain yang disebut metode bibir atau metode oral.

Pada abad XVII (17) JOHN BULWERE dan JOHN WALLIS di Inggris memulai penididikan dan pengajaran anak tunarungu dengan metode isyarat, sedangkan di negeri Belanda dirintis oleh JOHN AMMAN (1692). Dalam pemnbelajaran bahasa ia menulis antara lain jika murid-muridnya mulai membaca dan dapat mengerti maksudnya, dia memperlakukan mereka seperti anak yang baru lahir, yang sama sekali belum mengetahui apa-apa, mula-mula dia ajarkan nama-nama benda yang mereka kenal dan perlu sedikit demi sedikit sesudah dia tunjukkan dengan isyarat dimana dia rasakan betul.

Kemudian abad ke XVIII (18) muncullah seorang Paderi di Paris, ABBEDE L’EPPEE (1712 – 1789) nama lengkapnya ABBE CHARLES MICHEL DE L’EPPEE (Perancis). Dia membuka sekolah pertama untuk orang tuli pada tahun 1775 . selanjutnya ia mengatakan bahwa bahasa isyarat adalah bahasa pembawaan anak tunarungu sejak lahir, mengajarkan bercakap terlalu banyak membuang waktu atau menghabiskan waktu, maka dari itu waktu dipergunakan untuk lebih memajukan perkembangan kecerdasan murid-muridnya dengan bahasa isyarat. Metode isyarat yang dikembangkan oleh ABBE DE L’EPPEE di Perancis tersebut mencoba semua pengertian diisyaratkan dari semua isyarat itu di coba digambarkan menjadi tanda-tanda gambar, sehingga isyarat yang sederhana saja sudah membutuhkan 3000 hingga 4000 buah tanda gambar. Dari inilah maka timbul abjad jari (Fingue Alphabet) yang mula mula menggunakan dua tangan kemudian disederhanakan menjadi abjad jari satu tangan , sehingga dia terkenal dengan sebutan tokoh metode isyarat (alican Perancis atau manualisme).

Selanjutnya bersamaan dengan periode itu SAMUEL HEINICKE di Jerman mengembangkan metode oral, jadi mulai itulah terjadi liran Jerman (aliran oralisme). Metode ini bertitik tolak dari pandangan bahwa anak tuli ( anak tunarungu berat )  memiliki potensial untuk berbicara dan dapat diajak bicara dengan baik. Pandangan ini didukung adanya kebutuhan anak tuli (anak tunarungu berat ) untuk :

1.    Diakui sebagai anggota masyarakat seperti halnya anak-anak normal.

2.    Mendapat kesempatan berpribadi (memperoleh pengakuan harga diri).

3.    Menyesuaikan diri dalam sosial dari vocational.

Keuntungan metode oral bagi anak tuli  (tunarungu) adalah sebagai berikut:

a.    Dengan latihan berbicara akan memberikan penjelasan yang lebih mudah kedunia sekitarnya, sehingga memperoleh penyesuaian dan sekaligus menghindarkan anak tuli (tunarungu) dari perasaan terisolir dan tekanan batin.

b.    Bicara merupakan media komunikasi bersifat universal.

c.    Pergaulan anak tuli (tunarungu) tidak terbatas pada dunia anak tuli (tunarungu) yang berisyarat saja.

d.    Anak normalpun akan lebih mudah bergaul dengan anak tuli (tunarungu) yang berbicara.

e.    Oralisme menitikberatkan pada kebutuhan berpartisipasi dalam dunia normal.

Kemudian secara bersama-sama aliran manualisme dan oralisme berkembang ke Amerika, Manualisme dikembangkan oleh GALAUDET atas pengaruhbelajar di Paris Perancis, sedangkan Oralisme dikembangkan oleh Alexander Graham Bell yang kemudian menemukan alat telepon yang kenamaan dengan mengembangkan pemakaian alat Bantu Dengar (HEARING AID) serta pengeras suara. Maka timbullah satuan ukuran pendengaran seseorang yang disebut deciBell (dB). Dan di Inggris dikembangkan oleh THOMAS BRAIDWOOD .


Sejarah Pendidikan Tunarungu di Indonesia

Di Indonesia pendidikan anak tunarungu dimulai di Bandung Jawa Barat, sekitar tahun 1930 dan beberapa tahun kemudian didirikan sekolah luar biasa B (SLB bagian B) di Wonosobo Jawa Tengah dan sekarang ini telah tersebar di seluruh tanah air Indonesia dan kebanyakan diselenggarakan oleh pihak swasta berupa yayasan – yayasan. Di Bali terdapat sekolah pembina tingkat nasional dan di Subang ada sekolah pembina luar biasa B tingkat Provinsi. Mengenai sistem pendidikan di Indonesia umumya mempergunakan metode membaca ajaran bibir (lip reading) namun sejak beberapa tahun di SLB/B kota Jakarta khususnya SLB/B Zinnia dan di Surabaya SLB/B karya Mulya telah dimulai dengan komunikasi total (total communication). Adapun pengertian komunikasi total menurut Edward Miner Gollandet (1837 – 1902) dalam buku A WORLD OF LANGUAGE FOR DEAR CHILDREN sebagai combined system and combined method yaitu a combined of signs, finger spelling and speech.

Jadi merupakan kombinasi isyarat, ejaan jari dan bicara. Komunikasi total ini akan dikembangkan di SLB/B seluruh Indonesia dengan dilakukannya kamus sistem isyarat bahasa Indonesia sebagai komponen komunikasi total pada tanggal 2 Mei 1994 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Prof. Ar. Ing. Wardiman Djojonegoro.

Selama ini belum terselenggara pendidikan terpadu secara resmi, meskipun sudah banyak anak-anak tunarungu yang berhasil duduk di bangku sekolah SMTP, SMTA, maupun Perguruan Tinggi. Pendidikan anak tunarungu telah dimulai pada usia yang sangat dini yakni pada usia 2 tahun atau pada usia dimana anak telah dapat berjalan.

Adapun tujuan pendidikan sedini mungkin diterapkan agar sisa pendengaran dapat dipertahankan dengan pemberian rangsangan atau stimulasi. Diharapkan anak dapat mengembangkan bicaranya (tidak bisu), sehingga hanya menjadi anak tunarungu dan tidak menjadi anak tunawicara. 

Prinsip Pembelajaran Tunarungu

Bagaimana sih pembelajaran anak Tunarungu?  Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan dengan maksud untuk mencapai tujuan pembelajaran. Agar tu...